Membangkitkan Nurani Bangsa: Spirit Al-Maun Diserukan untuk Menyembuhkan Luka Sosial Era Digital

KEDIRI — Di era modern yang diwarnai kemajuan teknologi dan digitalisasi, Koordinator Presidium Majelis Daerah KAHMI Kota Kediri, Imam W. Zarkasyi, ST., MM., menyuarakan pentingnya menghidupkan kembali semangat Teologi Al-Maun. Ia menilai bahwa nilai-nilai kepedulian sosial yang menjadi tonggak awal lahirnya gerakan Muhammadiyah kini semakin relevan untuk menjawab tantangan sosial kemanusiaan masa kini. Seruan tersebut disampaikannya pada 18 November 2025 dalam sebuah refleksi keumatan di Kota Kediri.
Menurut Imam, perkembangan teknologi telah membawa kemudahan, namun juga melahirkan kelompok masyarakat baru yang rentan: mereka yang tertinggal karena minim akses digital. Di balik kemajuan ini, muncul ketimpangan sosial yang tak lagi terlihat secara kasat mata, namun terasa dalam kesenjangan kesempatan dan akses informasi. “Digitalisasi membuat kehidupan tampak lebih mudah, tetapi ada hati-hati yang sunyi karena mereka tertinggal dari arus teknologi,” ungkapnya.
Dengan nada haru, Imam menggambarkan bahwa kemajuan teknologi sering kali menyingkirkan mereka yang tidak mampu mengikuti lajunya. “Di balik gemerlap teknologi, ada wajah-wajah yang tak terlihat. Semangat Al-Maun memanggil kita untuk menemukannya kembali, merangkul mereka, dan memberdayakan mereka,” ucapnya. Seruan ini tidak hanya menjadi kritik sosial, tetapi juga panggilan moral untuk membangun kembali jembatan empati di tengah masyarakat yang mulai renggang.
Imam menekankan bahwa Teologi Al-Maun bukan sekadar bacaan dalam ibadah, tetapi api yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ia menyerukan empat langkah strategis sebagai bentuk implementasi nilai Al-Maun. Pertama, menjadikan amal usaha Muhammadiyah sebagai ruang inovasi. Kedua, menguatkan aktivisme digital yang tetap humanis. Ketiga, membangun kemandirian ekonomi umat. Dan keempat, menghadirkan model kepemimpinan yang membela kaum lemah tanpa keraguan.
Ia mengingatkan bahwa Muhammadiyah telah menjadi pelita selama 113 tahun, tidak hanya dalam dunia pendidikan dan kesehatan, tetapi juga dalam perjalanan sosial bangsa Indonesia. “Muhammadiyah sudah 113 tahun menjadi pelita. Sekarang tugas kita menjaga cahayanya—agar tidak hanya menerangi masjid dan gedung, tetapi juga hati manusia yang mulai jauh satu sama lain,” tuturnya.
Imam juga mengajak seluruh elemen umat untuk merefleksi kembali esensi keberagamaan di era digital. Menurutnya, keberimanan tidak hanya terlihat dari ritus ibadah, tetapi dari keberpihakan terhadap mereka yang terpinggirkan. Sebab, di situlah ruh Al-Maun yang sejati menemukan wujudnya: ajakan untuk merawat, mengangkat, dan menguatkan mereka yang tak memiliki suara.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa aktivisme digital Muhammadiyah harus diarahkan untuk lebih inklusif dan berkeadilan. Penggunaan teknologi seharusnya menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar sarana ekspresi. Dengan model ini, umat dapat menciptakan ruang baru bagi dialog, kolaborasi, dan pembaruan gerakan dakwah sosial.
Menutup refleksi yang penuh makna, Imam menyampaikan harapan yang lirih namun penuh keyakinan. “Semoga semangat Al-Maun kembali hidup dalam langkah kita. Semoga ia menjadi cahaya yang menuntun Indonesia menuju masa depan yang lebih adil, lebih hangat, dan lebih manusiawi,” katanya. Seruan tersebut menjadi pengingat bahwa di tengah perubahan zaman, nurani bangsa tetap harus dijaga, karena dari sanalah cahaya kemanusiaan bermula.







