Berita

Amnesti Bukan Sekadar Pengampunan: Saat Negara Berani Melampaui Hukum Demi Keadilan Substansial

JAKARTA — Dalam keputusan yang mengejutkan sekaligus monumental, Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana, kebanyakan dari mereka merupakan korban dari disorientasi hukum: pengguna narkoba yang seharusnya direhabilitasi, pelanggar pasal karet ITE, hingga mereka yang sekadar menyuarakan kritik sosial. Langkah ini bukan sekadar kebijakan populis atau grasi massal, melainkan rem darurat yang diaktifkan saat sistem hukum tersesat dalam legalisme kaku yang kehilangan hati nurani.

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menegaskan bahwa amnesti kali ini adalah bentuk koreksi etis yang tak bisa dihindarkan. “Ini bukan soal membatalkan hukum, tapi membatalkan legalisme yang telah kehilangan rasa keadilan,” ujarnya. Dengan mengutip pemikiran Giorgio Agamben, ia menyebut kebijakan ini sebagai bentuk sovereign decision — keputusan berani negara untuk menanggalkan prosedur demi menyelamatkan prinsip dasar hukum: keadilan.

Masalah mendesak yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah overcrowding penjara dan overkriminalisasi. Per Agustus 2025, jumlah narapidana di Indonesia menembus angka 281.743, hampir dua kali lipat dari kapasitas tampung yang hanya 146.260. Rasio petugas dan warga binaan bahkan mencapai 1:80. Kondisi ini bukan hanya tak manusiawi, tapi juga menciptakan kegagalan struktural dalam fungsi pemasyarakatan: dari yang seharusnya membina, kini justru menghukum secara massal.

Ironisnya, lebih dari separuh penghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotika — dan sebagian besar dari mereka adalah pengguna, bukan bandar. Mereka adalah korban, namun diperlakukan sebagai musuh negara. “Negara seperti kehilangan akal membedakan siapa yang harus dihukum dan siapa yang seharusnya dipulihkan,” kritik Agus. Amnesti, dalam konteks ini, bukan hanya pengampunan, tapi pernyataan politik bahwa sistem hukum harus disetel ulang.

Kondisi ini mencerminkan krisis epistemik: ketika penegakan hukum lebih tunduk pada tekanan publik ketimbang prinsip keadilan. Penjara sempit, menyiksa, dan tak manusiawi justru dianggap sebagai ‘pembalasan yang layak’, bukan kegagalan sistemik. Padahal seperti dikatakan Amartya Sen, keadilan bukan sekadar menghukum, tapi menciptakan kondisi agar mereka yang pernah salah bisa kembali berfungsi secara sosial.

Melalui amnesti, negara mengambil sikap bahwa tidak semua yang legal itu adil. Ini adalah pengakuan bahwa sistem hukum kita terlalu lama memenjarakan kerentanan, kemiskinan, dan perbedaan pendapat. “Kami melihat amnesti sebagai awal, bukan akhir,” tambah Agus. Reformasi pemasyarakatan harus dimulai dari pertanyaan filosofis: Mengapa kita menghukum? Dan, apa yang ingin dicapai dari penghukuman itu?

Kehadiran KUHP baru pada Januari 2026 diharapkan jadi penanda arah baru. Dengan pendekatan restoratif, hukuman sosial, serta prinsip ultimum remedium untuk kasus ringan, Indonesia memasuki era hukum pidana yang lebih manusiawi. Dalam konteks ini, peran petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) menjadi sangat strategis: tak sekadar administrasi, tapi garda depan transformasi sistem pemidanaan.

Lebih dari sekadar tindakan hukum, amnesti adalah simbol keberanian etis dan politik. Ia menyampaikan pesan kuat bahwa keadilan tidak boleh sekadar prosedur, tapi harus hadir sebagai keberpihakan terhadap kemanusiaan. “Keadilan bukan soal membuat orang menderita, melainkan membuat masyarakat kembali utuh,” tutup Agus. Kini, saatnya negara tak hanya membebaskan tubuh dari penjara, tapi juga membebaskan hukum dari kungkungan formalitas yang membusuk.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button