KPAI Apresiasi Polri Ungkap Rekrutmen Anak oleh Jaringan Terorisme: Negara Hadir Lindungi Generasi Muda

Jakarta — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan apresiasi tinggi kepada Polri, khususnya Densus 88 Antiteror, atas keberhasilan mengungkap praktik rekrutmen anak oleh kelompok terorisme melalui ruang digital. Dalam Konferensi Pers Penanganan Rekrutmen Secara Online Terhadap Anak-anak oleh Kelompok Terorisme, KPAI menilai langkah cepat Polri bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan berbagai pemangku kepentingan telah menyelamatkan masa depan ratusan anak Indonesia dari paparan ideologi kekerasan.
Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menyampaikan bahwa keberhasilan ini menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi anak-anak dari ancaman ideologi ekstrem. “KPAI sangat mengapresiasi kinerja Densus 88, BNPT, dan seluruh stakeholder. Upaya ini bukan hanya penegakan hukum, tetapi upaya penyelamatan anak-anak Indonesia dari eksploitasi jaringan terorisme,” tegasnya. Ia menilai bahwa penindakan ini menjadi bukti bahwa ancaman digital terhadap anak tidak bisa dipandang ringan dan harus ditangani secara sistematis.
Dalam pemaparan Polri, terungkap bahwa lebih dari 110 anak di 26 provinsi telah teridentifikasi sebagai pihak yang terpapar rekrutmen oleh jaringan terorisme. Modus dilakukan melalui media sosial, game online, hingga platform komunikasi tertutup. KPAI memastikan bahwa seluruh proses penanganan anak-anak tersebut dilakukan berdasarkan payung hukum yang kuat, yakni UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012).
Margaret menjelaskan bahwa penanganan terhadap anak korban perekrutan harus mengutamakan prinsip the best interest of the child atau kepentingan terbaik bagi anak. Hal tersebut mencakup pendekatan diversi, keadilan restoratif, pendampingan wajib, konseling psikologis, hingga jaminan perlakuan manusiawi. “Kami memastikan bahwa setiap anak yang terlibat tidak diperlakukan sebagai pelaku, tetapi sebagai korban yang harus dilindungi hak-haknya. Pendampingan psikologis dan hukum menjadi bagian yang tidak terpisahkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, KPAI menilai bahwa fenomena ini menjadi peringatan serius terhadap rentannya anak-anak dalam dunia digital. Margaret menegaskan pentingnya penguatan support system untuk menangkal radikalisasi sejak dini. “Keluarga adalah sistem pendukung utama. Namun sekolah dan masyarakat juga harus hadir. Literasi digital anak perlu diperkuat agar mereka tidak mudah terjebak propaganda ekstrem,” papar Margaret. Pola pengawasan dan komunikasi emosional dalam keluarga dinilai menjadi benteng pertama yang harus diperkuat.
KPAI juga mendorong lembaga pendidikan untuk menghadirkan kurikulum dan kegiatan yang inklusif, membangun rasa percaya diri anak, serta memberi ruang aman untuk mengungkapkan masalah psikologis yang mereka alami. Kondisi seperti bullying, broken home, dan pencarian jati diri sering kali dimanfaatkan oleh jaringan teror sebagai celah untuk melakukan pendekatan ideologis kepada anak-anak.
Sinergi antar-lembaga dinilai sebagai faktor kunci dalam menjaga keberlanjutan perlindungan. Margaret menyebut bahwa upaya Polri harus dilanjutkan dengan koordinasi menyeluruh bersama Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, pemerintah daerah, psikolog, serta organisasi perlindungan anak. Kolaborasi multidisipliner diperlukan agar setiap anak korban bisa mendapatkan pemulihan yang komprehensif, baik secara psikologis, sosial, maupun pendidikan.
Menutup pernyataannya, Ketua KPAI menegaskan bahwa hasil pengungkapan ini harus menjadi momentum nasional untuk memperkuat komitmen bersama melindungi generasi muda dari ancaman radikalisasi digital. “Polri telah melakukan langkah luar biasa. Kini tugas kita bersama memastikan perlindungan berkelanjutan agar anak-anak Indonesia terbebas dari ancaman radikalisasi digital,” tutupnya. Dengan dukungan seluruh elemen bangsa, diharapkan Indonesia mampu menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak sebagai penerus masa depan bangsa.







